Bangsa tanpa Keutamaan


BANGSA ini sedang mengalami krisis keteladanan. Para tokoh anutan mulai sirna. Figur yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak kian langka. Di sekitar kita lebih banyak dijumpai sosok bunglon yang prinsip hidup mereka bisa berubah-ubah sesuai selera.

Tokoh yang dikagumi karena santun bertutur, bersahaja dalam berpenampilan, tidak lagi satu kata dengan perbuatan. Atribut moralitas yang menjadi identitas sang tokoh justru dijadikan alasan untuk berperilaku menyimpang dari kebiasaan umum tanpa malu sedikit pun.

Hampir tidak ada lagi lembaga yang berwibawa, formal maupun informal. Lembaga-lembaga negara, eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak lagi menjadi pusat tata nilai dan keutamaan. Korupsi dilakukan serentak dan terbuka tanpa malu-malu. Keutamaan yang seharusnya diemban lembaga, lenyap oleh kerakusan individu yang menjadi anggotanya. Karena begitu masif dan konsisten, akhirnya tidak jelas lagi siapa yang meracuni siapa.

Sudah terlalu banyak dan amat sering khalayak dijejali pameran tak patut dari para wakil rakyat. Dari kebiasaan bolos sidang, mengarang-ngarang mata anggaran, studi banding yang tidak pernah diperbandingkan, dan banyak lagi. Yang paling akhir publik dihebohkan oleh adegan mesum seorang anggota dewan dengan penyanyi dangdut yang direkam sendiri dan sekarang menjadi tontonan publik secara terbuka.

Di jajaran eksekutif kita menyaksikan puluhan bahkan ratusan pejabat negara yang dinyatakan sebagai tersangka tetapi tidak pernah malu menyandang jabatan. Mereka bahkan merasa lebih gagah ketika menyandang gelar bupati, gubernur, bahkan menteri sembari melekat juga status tersangka dan terperiksa dalam dirinya.

Kalau mereka punya malu, seharusnya melepaskan jabatan, walaupun sementara, untuk memudahkan pemeriksaan. Ketika pengadilan memutuskan mereka tidak bersalah, jabatan kembali disandang.

Akan tetapi, hukum di negeri ini berpikiran lain. Seseorang yang belum memperoleh putusan hukum tetap tidak boleh dianggap bersalah. Karena itu selama dia diperiksa dan diadili sebelum vonis jatuh, dia berhak menyandang jabatan.

Di jajaran yudikatif juga sama. Dekadensi moral juga parah. Bagaimana hakim dan jaksa memutarbalikkan fakta sehingga kebenaran terjungkir balik. Hukum seakan tidak memiliki kebenaran mutlak. Kepandaian jaksa, hakim, dan termasuk polisi berargumentasi itulah yang menentukan kebenaran. Fakta kalah dari argumentasi. Para penegak hukum sudah kehilangan rasa malu untuk menjual kebenaran demi uang. Hukum di negeri ini berhamba pada yang berkuasa dan yang beruang.

Dekadensi moral juga terjadi pada lembaga-lembaga yang sejatinya bertugas menjaga dan menumbuhkan moralitas. Pendidikan, misalnya, kehilangan energi untuk mencerdaskan karena dirongrong oleh nafsu komersialisasi.

Walaupun kita memaksa untuk optimistis bahwa masih banyak orang dan lembaga baik di negeri ini, tetap saja tidak bisa menutupi kegundahan terhadap fakta bahwa dekadensi moralitas bangsa ini begitu dahsyat. Dahsyat karena tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi anutan berubah menjadi hipokrit tanpa rasa malu.

Semakin pintar dia menipu semakin cepat kita mengangkatnya sebagai pahlawan. Celaka.... ''Ajab sirajab bin mustajab,'' kata orang Medan.
Cetak Berita   Email Berita
Komentar terpilih akan dimuat di rubrik 'Bedah Editorial' Harian Media Indonesia edisi esok
[Belum ada tanggapan untuk berita ini]
Previous
Next Post »